Kamis, 07 November 2013

KEJAHATAN PERBANKAN

Pembobolan Bank Pembobolan bank mengalami perubahan bentuk ke arah yang semakin canggih sesuai dengan perkembangan teknologi dan kompleksitas transaksi keuangan. Tingkat keamanan bank menjadi dipertaruhkan ketika frekwensi dan skala pembobolan menjadi semakin besar. Penipuan, penggelapan, dan korupsi korporasi (corporate corruption) merupakan ancaman yang serius terhadap sistem keuangan. Sebagai lembaga intermediasi keuangan, pembobolan bank dapat terjadi di setiap tahapan proses bisnis dalam sebuah bank. Sesuai dengan fungsinya, pembobolan dapat terjadi dalam:

1. Pembobolan terhadap dana simpanan dimana dana nasabah digerogoti oleh oknum bankir tanpa sepengetahuan nasabah
2. Pembobolan kredit dimana oknum bankir secara sengaja merekayasa kerugian bank melalui transaksi kredit fiktif atau kualitas kreditnya rendah
3. Pembobolan atas transaksi keuangan yang difasilitasi bank seperti kartu kredit, transfer fiktif, transaksi valas yang merugikan dan lain-lain.

Pelaku pembobolan bank bisa merupakan pihak di dalam bank maupun pihak luar. Tetapi biasanya pihak luar sangat jarang melakukan pembobolan tanpa ada kerjasama dengan pihak dalam bank (Saunders, 2002). Pembobolan yang murni dilakukan oleh pihak luar biasanya terbatas pada pembobolan kartu kredit serta transaksi elektronis.

Dengan semakin ketatnya prosedur pengamanan transaksi elektronis, praktis peluang pembobolan dari luar semakin tipis. Pembobolan yang dilakukan oleh pihak dalam bank semakin canggih dan semakin besar sesuai dengan tingkat jabatan pelaku. Otorisasi transaksi yang dapat dilakukan oleh pejabat bank disesuaikan dengan tingkatan jabatan. Semakin tinggi jabatan semakin besar otoritas transaksi yang menjadi kewenangannya.

Karena itu, pembobolan dalam sekala kecil biasanya dilakukan oleh pegawai di tingkat rendahan. Kasus pembebolan skala besar hanya mungkin terjadi di bank besar dan oleh pejabat bank dengan posisi tinggi.Pencucian Uang Vs. Kejahatan Perbankan Tindak pencucian uang (money laundering) memang tidak berkait langsung dengan pelanggaran di bidang perbankan dan atau pembobolan bank. Seseorang atau lembaga yang memiliki simpanan bank dalam jumlah yang besar dan melakukan transaksi keuangan yang aktif tidak dapat dikenai secara langsung delik hukum tentang kejahatan perbankan.

Dalam transaksi pencucian uang tidak akan ditemui pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan perbankan maupun tindak kejahatan yang merugikan bank dan atau nasabah bank lainnya. Sebagai lembaga kepercayaan, sejatinya bank membawa “misi” untuk menjaga kerahasiaan nasabahnya. Itu sebabnya, beberapa bank (di luar negeri) masih memegang teguh “misi” ini; tidak perduli dari mana asal usul dana simpanan dan bagaimana lalu lintas transaksi terhadap rekening nasabahnya. Kita sering mendengar, banyak dana hasil kejahatan dan praktik ilegal yang diparkir di luar negeri dan sulit diekstradisi.

Bagi praktisi keuangan, perbankan dan pasar modal sudah mengenal istilah transaksi “washing” sejak maraknya lalu lintas investasi portofolio asing sejak awal tahun 1990-an. Transaksi washing lebih kurangnya ditujukan utuk menghindari akses bagi siapapun untuk mengetahui asal-usul dana dari sebuah transaksi pembelian, penempatan, dan investasi; yang sangat mungkin berkait dengan hasil tindak kejahatan. Subyek transaksi jenis ini biasanya sebuah lembaga keuangan dan investasi yang berdomisili hukum di negeri yang dikenal dengan istilah “green island”.

Seperti Caymand Island dan Mauritius; kalangan umum mengenalnya sebagai negeri bebas pajak. Namun bagi praktisi keuangan dan bisnis, kedua negeri ini lebih diandalkan peranannya sebagai gerbang mulus untuk mengalirkan dana dan kendali bisnisnya tanpa dapat diusik oleh pihak lain. Inilah cikal bakal praktik pencucian uang, transnasional money laundering. Pencucian uang hasil kejahatan umum atau praktik ilegal sangat berbahaya dalam membangun perekonomian yang efisien dan sistem keuangan yang stabil. Dampak tindak kejahatan pecucian uang terhadap perekonomian di antaranya adalah:

- menciptakan instabilitas sistem keuangan
- menciptakan distorsi sistem persaingan bebas
- mempersulit bank sentral dalam mengendalikan moneter
- meningkatkan kejahatan baik kualitas maupun kuantitasnya
- memunculkan kerawanan sosial di masyarakat Pencucian uang dapat mempengaruhi kegiatan bisnis dalam hal:
- merongrong sektor swasta yang sah
- mengganggu integritas pasar keuanganmembahayakan upaya privatisasi perusahaan negara
- mengikis kepercayaan pasar
- menimbulkan biaya dan risiko sosial
- mengakibatkan kurangnya akurasi pemerintah dalam mengendalikan kebijakan ekonomi  korupsi, penyuapan;
- penyelundupan barang, penyelundupan tenaga kerja, penyelundupan imigran;
- di bidang perbankan, di bidang pasar modal, di bidang asuransi;
- narkotika, psikotropika;
- perdagangan manusia, perdagangan senjata gelap;
- penculikan, terorisme;
- pencurian, penggelapan, penipuan, pemalsuan uang;
- perjudian, prostitusi;
- di bidang perpajakan, di bidang kehutanan, di bidang lingkungan hidup, di bidang kelautan;
- yang dipergunakan langsung atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme.

Konteks pencegahan dan penanganan tindak kejahatan perbankan mestinya tidak dipisahkan dari upaya memberantas tindak pencucian uang. Dan upaya ke arah itu bukanlah hal yang mudah, karena berhadapan dengan kejahatan yang bersifat transnasional dan lembaga keuangan/investasi internasional.

Bank sebagai infrastruktur lembaga keuangan yang kredibel pastinya tidak bisa dihindarkan “peranannya” dalam menyokong kelangsungan lalu lintas transaksi keuangan hasil korupsi, penipuan, praktik ilegal, dan kejahatan umum lainnya. Secara nasional, upaya yang intensif pencegahan pencucian uang melalui pendekatan kebijakan perbankan seperti ketentuan pengenalan nasabah (know your customers/ KYC) dinilai merupakan sarana ampuh untuk menekan tindak kejahatan umum. Sementara di sisi lain, upaya penegakan hukum terhadap tindak pencucian uang sejauh ini dinilai kurang membuahkan hasil.

 Masalah utama yang banyak disoroti para pakar hukum di antaranya adalah sulitnya pembuktian dalam perkara tindak pencucian uang, dan kewenangan yang belum padu antara penyidik, PPATK dan lembaga perbankan. Masalah sulitnya pembuktian berkait dengan kompleksitas tindak kejahatan itu sendiri sebagai dasar dakwaan bahwa telah terjadi pencucian uang.

Padahal, menurut Garnasih (2006), kejahatan pencucian uang adalah kejahatan yang berdiri sendiri tanpa harus mengaitkannya dengan kejahatan asalnya (predicate offenses atau core crime). Sedangkan dari sisi kewenangan, PPATK belum diberikan kewenangan dalam melakukan penyidikan, meski lembaga ini yang pertama menemukan indikasi adanya tindak pencucian uang melalui mekanisme pelaporan bank dan lembaga keuangan lain.

Demikian halnya dengan perbankan; penerapan prinsip KYC belum mengarah pada diberikannya otoritas untuk melakukan tindakan cepat terhadap rekening yang diduga menampung dana-dana hasil kejahatan, misalnya pembekuan rekening yang berguna dalam proses penyidikan. Mengingat porsi terbesar frekuensi kasus kejahatan perbankan dalam tiga tahun terakhir adalah pada kegiatan simpanan, maka upaya penanganan tindak pencucian uang mesti merupakan bagian integral dengan upaya membasmi tindak kejahatan perbankan. Bagi perbankan, ini merupakan tantangan sulit.

Sebab, praktik pengelolaan rekening yang terindikasi hasil praktik kejahatan sesungguhnya tidak mendatangkan kerugian nominal bagi bank, kecuali dapat mengganggu kegiatan dan volume lalu lintas pembayaran. Dalam praktiknya, pengelolaan rekening itu dilakukan secara taat asas, artinya sesuai dengan sistem dan prosedur yang berlaku umum. Berbeda dengan tindak kejahatan perbankan yang nyata-nyata dapat dibuktikan adanya pelanggaran prosedur, manipulasi, kolusi atau penipuan dalam transaksi rekening nasabah.
Modus Tindak Pencucian Uang :

Bank sebagai lembaga pembayaran menduduki posisi sentral dalam jaringan lalu lintas dana pencucian uang. Tiga mata ratai utama dalam skema pencucian uang yang tidak lepas dari peran bank adalah: penempatan (placement), pengaburan (layering), dan integrasi (integration). Melalui skema penempatan, pelaku pencucian uang memasukkan dana hasil kejahatan atau praktik ilegal ke dalam berbagai instrumen keuangan, seperti simpanan di bank, surat berharga di pasar modal dan pasar uang.

Biasanya, pelaku memecah transaksi menjadi beberapa rekening atau beberapa type instrumen keuangan dengan nama sama atau berbeda sehingga tidak perlu dilaporkan kepada PPATK oleh penyedia jasa keuangan (PJK). Model Teoritis Penjarahan Bank Dalam bagian ini akan dibahas suatu model teoritik tentang penyalahgunaan lembaga keuangan oleh pemilik dan manajemen.
Model ini diadopsi dari Akerlof dan Romer (1993) yang mengungkapkan kemungkinan terjadinya penjarahan yang mengakibatkan runtuhnya industri keuangan di Chile dan dalam krisis Saving and Loan (S&L) di Amerika Serikat pada awal tahun delapan puluhan.

Kedua krisis tersebut bersifat luar biasa, dan kedua profesor dari Berkeley tersebut mencurigai bahwa penyebabnya juga bersifat luar biasa.Banyak hal penting yang terabaikan oleh ekonom dalam mengidentifikasi masalah dan merumuskan kebijakan untuk mengatasi krisis tersebut. Salah satunya adalah masalah penjarahan.  

Dalam literatur, jaminan pemerintah baik dalam bentuk fasilitas LOLR, deposit insurance, maupun penyertaan saham pemerintah, dipandang sebagai suatu hal yang dapat menciptakan moral hazard dan pengambilan risiko yang berlebihan. Jaminan seperti LOLR sebenarnya lumrah saja dan bersifat harmless dalam dunia non-stokastik seperti dalam model Diamond dan Dybvig (1983).

Tetapi, dalam lingkungan stokastik, bahaya yang ditimbulkan dari jaminan ini berasal dari pemapasan distribusi peluang di sebelah kiri sehingga distribusi yang dihadapi oleh bankir tidak simetris. Dengan kata lain, bankir hanya dihadapkan pada pilihan; kalau situasi baik maka saya untung, kalau tidak berarti impas. Dengan demikian, bankir akan memilih portfolio yang memberikan keuntungan yang besar walaupun peluang suksesnya kecil karena dia tidak menanggung risiko kerugian.

Hal ini lazim terjadi walaupun kita lalai untuk memperhatikan bahwa bankir dapat mengambil keuntungan untuk dirinya tanpa harus mengambil risiko. Tetapi jika Λ lebih besar dari V, bank dapat meminta dana kepada pemerintah senilai Λ, dengan kesadaran penuh bahwa dana dari pemerintah tidak harus dikembalikan atau jika harus dikembalikan di kemudian hari maka bankir bisa menyatakan default.

Dalam kasus seperti ini, tidak ada insentif bagi bankir untuk melakukan pengelolaan bank secara baik. Bahkan ada insentif untuk memperburuk kinerja bank.  Skenario tersebut sangat sederhana tetapi cukup powerful sebagai landasan investigasi terhadap kemungkinan penjarahan yang dilakukan oleh bankir. Kesederhanaan nya merupakan cerminan dari tiga mekanisme yang cukup rumit.
Akan tetapi, jika bankir dimungkinkan untuk menyedot dana lebih dari keuntungan yang dapat diberikan oleh bank, maka mereka akan cenderung mengambil dana lebih dari nilai ekonomis bank. Jadi, mereka secara sengaja melakukan penjarahan dan meninggalkan bank dalam keadaan net worth-nya negatif. Dalam skenario seperti ini, kebankrutan merupakan suatu alternatif yang menarik, dan bukannya sesuatu yang dipaksakan oleh keadaan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar