Pembobolan Bank Pembobolan bank mengalami perubahan
bentuk ke arah yang semakin canggih sesuai dengan perkembangan teknologi dan
kompleksitas transaksi keuangan. Tingkat keamanan bank menjadi dipertaruhkan
ketika frekwensi dan skala pembobolan menjadi semakin besar. Penipuan,
penggelapan, dan korupsi korporasi (corporate corruption) merupakan ancaman
yang serius terhadap sistem keuangan. Sebagai lembaga intermediasi keuangan,
pembobolan bank dapat terjadi di setiap tahapan proses bisnis dalam sebuah
bank. Sesuai dengan fungsinya, pembobolan dapat terjadi dalam:
1. Pembobolan terhadap dana simpanan dimana dana nasabah digerogoti oleh
oknum bankir tanpa sepengetahuan nasabah
2. Pembobolan kredit dimana oknum bankir secara sengaja merekayasa kerugian
bank melalui transaksi kredit fiktif atau kualitas kreditnya rendah
3. Pembobolan atas transaksi keuangan yang difasilitasi bank seperti
kartu kredit, transfer fiktif, transaksi valas yang merugikan dan lain-lain.
Pelaku pembobolan bank bisa merupakan pihak di
dalam bank maupun pihak luar. Tetapi biasanya pihak luar sangat jarang
melakukan pembobolan tanpa ada kerjasama dengan pihak dalam bank (Saunders,
2002). Pembobolan yang murni dilakukan oleh pihak luar biasanya terbatas pada
pembobolan kartu kredit serta transaksi elektronis.
Dengan semakin ketatnya prosedur pengamanan transaksi
elektronis, praktis peluang pembobolan dari luar semakin tipis. Pembobolan yang
dilakukan oleh pihak dalam bank semakin canggih dan semakin besar sesuai dengan
tingkat jabatan pelaku. Otorisasi transaksi yang dapat dilakukan oleh pejabat
bank disesuaikan dengan tingkatan jabatan. Semakin tinggi jabatan semakin besar
otoritas transaksi yang menjadi kewenangannya.
Karena itu, pembobolan dalam sekala kecil biasanya
dilakukan oleh pegawai di tingkat rendahan. Kasus pembebolan skala besar hanya
mungkin terjadi di bank besar dan oleh pejabat bank dengan posisi tinggi.Pencucian
Uang Vs. Kejahatan Perbankan Tindak pencucian uang (money laundering) memang
tidak berkait langsung dengan pelanggaran di bidang perbankan dan atau
pembobolan bank. Seseorang atau lembaga yang memiliki simpanan bank dalam
jumlah yang besar dan melakukan transaksi keuangan yang aktif tidak dapat
dikenai secara langsung delik hukum tentang kejahatan perbankan.
Dalam transaksi pencucian uang tidak akan ditemui
pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan perbankan maupun tindak
kejahatan yang merugikan bank dan atau nasabah bank lainnya. Sebagai lembaga
kepercayaan, sejatinya bank membawa “misi” untuk menjaga kerahasiaan
nasabahnya. Itu sebabnya, beberapa bank (di luar negeri) masih memegang teguh
“misi” ini; tidak perduli dari mana asal usul dana simpanan dan bagaimana lalu
lintas transaksi terhadap rekening nasabahnya. Kita sering mendengar, banyak
dana hasil kejahatan dan praktik ilegal yang diparkir di luar negeri dan sulit
diekstradisi.
Bagi praktisi keuangan, perbankan dan pasar modal sudah
mengenal istilah transaksi “washing” sejak maraknya lalu lintas investasi portofolio
asing sejak awal tahun 1990-an. Transaksi washing lebih kurangnya ditujukan
utuk menghindari akses bagi siapapun untuk mengetahui asal-usul dana dari sebuah
transaksi pembelian, penempatan, dan investasi; yang sangat mungkin berkait
dengan hasil tindak kejahatan. Subyek transaksi jenis ini biasanya sebuah
lembaga keuangan dan investasi yang berdomisili hukum di negeri yang dikenal
dengan istilah “green island”.
Seperti Caymand Island dan Mauritius; kalangan umum
mengenalnya sebagai negeri bebas pajak. Namun bagi praktisi keuangan dan
bisnis, kedua negeri ini lebih diandalkan peranannya sebagai gerbang mulus
untuk mengalirkan dana dan kendali bisnisnya tanpa dapat diusik oleh pihak
lain. Inilah cikal bakal praktik pencucian uang, transnasional money
laundering. Pencucian uang hasil kejahatan umum atau praktik ilegal sangat
berbahaya dalam membangun perekonomian yang efisien dan sistem keuangan yang
stabil. Dampak tindak kejahatan pecucian uang terhadap perekonomian di
antaranya adalah:
- menciptakan instabilitas sistem keuangan
- menciptakan distorsi sistem persaingan bebas
- mempersulit bank sentral dalam mengendalikan moneter
- meningkatkan kejahatan baik kualitas maupun kuantitasnya
- memunculkan kerawanan sosial di masyarakat Pencucian uang dapat
mempengaruhi kegiatan bisnis dalam hal:
- merongrong sektor swasta yang sah
- mengganggu integritas pasar keuanganmembahayakan upaya privatisasi
perusahaan negara
- mengikis kepercayaan pasar
- menimbulkan biaya dan risiko sosial
- mengakibatkan kurangnya akurasi pemerintah dalam mengendalikan kebijakan
ekonomi korupsi, penyuapan;
- penyelundupan barang, penyelundupan tenaga kerja, penyelundupan imigran;
- di bidang perbankan, di bidang pasar modal, di bidang asuransi;
- narkotika, psikotropika;
- perdagangan manusia, perdagangan senjata gelap;
- penculikan, terorisme;
- pencurian, penggelapan, penipuan, pemalsuan uang;
- perjudian, prostitusi;
- di bidang perpajakan, di bidang kehutanan, di bidang lingkungan
hidup, di bidang kelautan;
- yang dipergunakan langsung atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme.
Konteks pencegahan dan penanganan tindak kejahatan
perbankan mestinya tidak dipisahkan dari upaya memberantas tindak pencucian
uang. Dan upaya ke arah itu bukanlah hal yang mudah, karena berhadapan dengan
kejahatan yang bersifat transnasional dan lembaga keuangan/investasi
internasional.
Bank sebagai infrastruktur lembaga keuangan yang
kredibel pastinya tidak bisa dihindarkan “peranannya” dalam menyokong
kelangsungan lalu lintas transaksi keuangan hasil korupsi, penipuan, praktik
ilegal, dan kejahatan umum lainnya. Secara nasional, upaya yang intensif
pencegahan pencucian uang melalui pendekatan kebijakan perbankan seperti
ketentuan pengenalan nasabah (know your customers/ KYC) dinilai merupakan
sarana ampuh untuk menekan tindak kejahatan umum. Sementara di sisi lain, upaya
penegakan hukum terhadap tindak pencucian uang sejauh ini dinilai kurang
membuahkan hasil.
Masalah
utama yang banyak disoroti para pakar hukum di antaranya adalah sulitnya
pembuktian dalam perkara tindak pencucian uang, dan kewenangan yang belum padu
antara penyidik, PPATK dan lembaga perbankan. Masalah sulitnya pembuktian
berkait dengan kompleksitas tindak kejahatan itu sendiri sebagai dasar dakwaan
bahwa telah terjadi pencucian uang.
Padahal, menurut Garnasih (2006), kejahatan pencucian
uang adalah kejahatan yang berdiri sendiri tanpa harus mengaitkannya dengan
kejahatan asalnya (predicate offenses atau core crime). Sedangkan dari sisi
kewenangan, PPATK belum diberikan kewenangan dalam melakukan penyidikan, meski
lembaga ini yang pertama menemukan indikasi adanya tindak pencucian uang
melalui mekanisme pelaporan bank dan lembaga keuangan lain.
Demikian halnya dengan perbankan; penerapan prinsip
KYC belum mengarah pada diberikannya otoritas untuk melakukan tindakan cepat
terhadap rekening yang diduga menampung dana-dana hasil kejahatan, misalnya
pembekuan rekening yang berguna dalam proses penyidikan. Mengingat porsi
terbesar frekuensi kasus kejahatan perbankan dalam tiga tahun terakhir adalah
pada kegiatan simpanan, maka upaya penanganan tindak pencucian uang mesti
merupakan bagian integral dengan upaya membasmi tindak kejahatan perbankan.
Bagi perbankan, ini merupakan tantangan sulit.
Sebab, praktik pengelolaan rekening yang
terindikasi hasil praktik kejahatan sesungguhnya tidak mendatangkan kerugian
nominal bagi bank, kecuali dapat mengganggu kegiatan dan volume lalu lintas
pembayaran. Dalam praktiknya, pengelolaan rekening itu dilakukan secara taat
asas, artinya sesuai dengan sistem dan prosedur yang berlaku umum. Berbeda
dengan tindak kejahatan perbankan yang nyata-nyata dapat dibuktikan adanya
pelanggaran prosedur, manipulasi, kolusi atau penipuan dalam transaksi rekening
nasabah.
Modus Tindak Pencucian Uang :
Bank sebagai lembaga pembayaran menduduki posisi
sentral dalam jaringan lalu lintas dana pencucian uang. Tiga mata ratai utama
dalam skema pencucian uang yang tidak lepas dari peran bank adalah: penempatan (placement),
pengaburan (layering), dan integrasi (integration). Melalui skema penempatan,
pelaku pencucian uang memasukkan dana hasil kejahatan atau praktik ilegal ke
dalam berbagai instrumen keuangan, seperti simpanan di bank, surat berharga di
pasar modal dan pasar uang.
Biasanya, pelaku memecah transaksi menjadi beberapa
rekening atau beberapa type instrumen keuangan dengan nama sama atau berbeda
sehingga tidak perlu dilaporkan kepada PPATK oleh penyedia jasa keuangan (PJK).
Model Teoritis Penjarahan Bank Dalam bagian ini akan dibahas suatu model
teoritik tentang penyalahgunaan lembaga keuangan oleh pemilik dan manajemen.
Model ini diadopsi dari Akerlof dan Romer (1993)
yang mengungkapkan kemungkinan terjadinya penjarahan yang mengakibatkan runtuhnya
industri keuangan di Chile dan dalam krisis Saving and Loan (S&L) di
Amerika Serikat pada awal tahun delapan puluhan.
Kedua krisis tersebut bersifat luar biasa, dan
kedua profesor dari Berkeley tersebut mencurigai bahwa penyebabnya juga
bersifat luar biasa.Banyak hal penting yang terabaikan oleh ekonom dalam
mengidentifikasi masalah dan merumuskan kebijakan untuk mengatasi krisis
tersebut. Salah satunya adalah masalah penjarahan.
Dalam literatur, jaminan pemerintah baik dalam
bentuk fasilitas LOLR, deposit insurance, maupun penyertaan saham pemerintah,
dipandang sebagai suatu hal yang dapat menciptakan moral hazard dan pengambilan
risiko yang berlebihan. Jaminan seperti LOLR sebenarnya lumrah saja dan
bersifat harmless dalam dunia non-stokastik seperti dalam model Diamond dan
Dybvig (1983).
Tetapi, dalam lingkungan stokastik, bahaya yang
ditimbulkan dari jaminan ini berasal dari pemapasan distribusi peluang di
sebelah kiri sehingga distribusi yang dihadapi oleh bankir tidak simetris.
Dengan kata lain, bankir hanya dihadapkan pada pilihan; kalau situasi baik maka
saya untung, kalau tidak berarti impas. Dengan demikian, bankir akan memilih
portfolio yang memberikan keuntungan yang besar walaupun peluang suksesnya
kecil karena dia tidak menanggung risiko kerugian.
Hal ini lazim terjadi walaupun kita lalai untuk memperhatikan
bahwa bankir dapat mengambil keuntungan untuk dirinya tanpa harus mengambil
risiko. Tetapi jika Λ lebih besar dari V, bank dapat meminta dana kepada pemerintah
senilai Λ, dengan kesadaran penuh bahwa dana dari pemerintah tidak harus
dikembalikan atau jika harus dikembalikan di kemudian hari maka bankir bisa
menyatakan default.
Dalam kasus seperti ini, tidak ada insentif bagi
bankir untuk melakukan pengelolaan bank secara baik. Bahkan ada insentif untuk memperburuk
kinerja bank. Skenario tersebut sangat
sederhana tetapi cukup powerful sebagai landasan investigasi terhadap
kemungkinan penjarahan yang dilakukan oleh bankir. Kesederhanaan nya merupakan
cerminan dari tiga mekanisme yang cukup rumit.
Akan tetapi, jika bankir dimungkinkan untuk
menyedot dana lebih dari keuntungan yang dapat diberikan oleh bank, maka mereka
akan cenderung mengambil dana lebih dari nilai ekonomis bank. Jadi, mereka
secara sengaja melakukan penjarahan dan meninggalkan bank dalam keadaan net
worth-nya negatif. Dalam skenario seperti ini, kebankrutan merupakan suatu
alternatif yang menarik, dan bukannya sesuatu yang dipaksakan oleh keadaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar